Senin, 20 April 2009

Mengapa pelayanan Rumah Sakit yang murah kebanyakan tidak profesional?

Sebulan lalu anak saya nomor dua masuk sebuah rumah sakit dengan diagnosa demam berdarah. tiga hari dirawat anak saya diperbolehkan pulang karena trombositnya sudah normal. selama menunggu 3 hari untuk kontrol, kondisi anak saya tetap panas. ketika kontrol anak saya diberi obat penurun panas dengan catatan apabila dalam 2 hari tidak turun panasnya maka harus dirawat lagi. 3 hari kemudian kami kontrol lagi ke RS tersebut dan diperintahkan untuk foto thorax karena anak saya diduga terkena bronchitis. seminggu hasil rontgen tersebut baru bisa kami terima, hasilnya positif. maka anak kami dirawat jalan dengan menggunakan obat-obatan untuk TBC. ketika pengobatan berjalan 3 hari kembali kami dibuat bingung dengan kondisi anak kami yang terus panas ditambah kedua kakinya bengkak.
Kami bawa lagi anak kami ke rumah sakit tersebut (sebuah RS milik TNI AU di Bandung). Oleh dokter yang menangani kami disarankan untuk rawat inap. OK, kami pun rawat inap lagi, kali ini di kelas 2 karena ingin suasana yang lebih tenang. Obat bronchitis distop sementara, digantikan obat antibiotik. 5 hari anak kami dirawat, hanya 2 kali dokter datang, itu pun tak lebih dari 2 menit Saudara!! Informasi yang diberikan pun hanya 5 kata: "Anak Ibu kena rematik bayi" tanpa penjelasan apa pun langsung pergi meninggalkan istri saya yang terbengong-bengong dengan penyakit yang baru sekali terdengar itu.
Hari ke-5 anak kami diperbolehkan pulang karena kakinya sudah tidak bengkak. Tetapi masalah tidak berhenti: anak kami terus mengalami badan panas dan akibatnya menangis terus tiap kali panasnya datang. Akhirnya saya kehilangan kesabaran, kami harus pindah rumah sakit!! Saya pun mengajukan ijin pulang (saya mengajar di Balikpapan) untuk merawat anak saya. Kami bawa anak kami ke salah seorang dokter spesialis anak yang membuka praktek di daerah sekitar tempat tinggal kami.
Sungguh mencengangkan, dokter tersebut geleng-geleng kepala setelah kami ceritakan pengalaman kami. "Tidak ada penyakit rematik bayi itu" demikian kata dokter. Masya Allah!!! Kemudian dokter menanyakan obat-obatan bronchitis yang diberikan untuk anak kami, istri saya yang seorang asisten apoteker menyebutkannya satu-persatu. Lebih kaget lagi dokter itu karena ada satu obat yang tidak boleh diberikan pada pasien berpenyakit paru-paru. "Itu kontra indikasi. Stop sekarang juga semua obatnya!!!" Obat tersebut saya ingat selalu, namanya Kalmetason (bunyinya gitulah).
Masya Allah pembaca sekalian, apa yang harus kami lakukan? Dalam hati saya ingin langsung mendatangi dokter yang telah memberikan obat secara ngawur tersebut dan menghajarnya, tetapi saya pikir apa gunanya? Yang penting kami harus bersyukur karena Allah telah menunjukkan obat yang slah tersebut sebelum berlama-lama anak kami mengonsumsinya.
Besoknya anak kamitidak lagi disuapi obat oleh istri saya, hanya diberi vitamin dari dokter spesialis tadi. Subhanallah, sepanjang hari anak kami sudah lincah, tidak ada panas sama sekali. 3 hari kemudian kami kontrol ke dokter yang sama, lalu diberikan obat bronchitis dalam bentuk sirup.
Alhamdulillaah, anak kami sekarang sudah menjalani hari-hari bermainnya dengan sehat, sambil terus berobat jalan (karena pengobatan paru-paru memerlukan waktu sekitar 6 bulan). Kami orang tuanya merasa tenang lagi. Semoga Allah senantiasa menjaga kesehatan kami semua, itu yang kami doakan tiap hari.
Demikianlah pengalaman kami, semoga ada manfaatnya untuk para pembaca.

Minggu, 05 April 2009

Penerapan Ekonomi Islam dalam Konteks Makro

Selama ini yang terbayang dalam benak saya tentang ekonomi Islam adalah hal-hal yang bersifat mikro: jual beli yang jujur, tidak menimbun keperluan orang banyak, pinjam uang dengan sistem bagi hasil, serta membayar zakat.
Ketika mencoba beranjak ke konsep makro, saya langsung mentok: tidak terbayang. Bagaimana mungkin mengubah sistem perbankan konvensional yang sudah mapan seperti saat ini? Seandainya bisa, subhanallah. (bersambung, mohon sumbangan pemikiran dong)